![]() |
Luruskan Niat Rapatkan Barisan |
(Hal-05) Mungkin, kita pernah sangat berharap kepada Allah untuk memperoleh sesuatu,
tapi pinta itu tak kunjung dikabulkan. Sebaliknya, mungkin kita sering
dikaruniai Allah berbagai nikmat, tanpa pernah sedetakpun terbersit di hati
kita. Hidup memang penuh misteri. Karenanya, seringkali manusia salah dalam
menilai sebuah peristiwa. Apa yang manis dan indah tak jarang justru mendatangkan
malapetaka. Namun, sebuah peristiwa pahit dan berat, tak sedikit yang menjadi
pintu bahagia.
Sebab itulah, Allah melarang kita melihat segala sesuatu dari bungkus luarnya saja.
”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 216)
Perjalanan dakwah, tak
jauh berbeda. Siapa sangka, penderitaan dan tekanan luar biasa yang dialami
para sahabat di Makkah, justru melahirkan generasi terbaik sepanjang masa.
Pembunuhan Sumayyah oleh Abu Jahal dan keluarganya, adalah tiket surga yang
pertama.
Karenanya, sudut pandang
seorang Muslim terhadap suatu masalah, harus dikembalikan secara proporsional
sesuai tuntutan Al Qur’an dan Sunnah. Sebuah kekalahan, kesulitan, kegagalan
pada dasarnya adalah momentum yang akan mengembalikan kita pada jalan yang
lebih diridhai Allah. Lebih dari itu, ujian atau musibah, akan lebih membuka
berbagai kekurangan yang dimiliki. Dan dari sanalah kekalahan berubah menjadi
momentum meraih kemenangan.
Setidaknya, ada dua langkah yang penting dilakukan. Luruskan niat dan rapatkan barisan. Luruskan niat memiliki dimensi peningkatan iman (iman amiq) dan kejelasan serta penyatuan visi (wudhuhul fikrah).
Baca Juga: SalingMengingatkan tentang Niat
Sementara rapatkan barisan, adalah
upaya membangun kekuatan institusi dakwah melalui tiga hal, spesialisasi dan
pembagian kerja (Attakhasshush wa tauzi’ul a’mal), membangun kekuatan
jamaah dakwah dengan rasa tsiqah timbal balik (Attandzimu ad daqiq al mabni
’ala tsiqah), dan mengembangkan ukhuwah yang kokoh (al ukhuwah al
matinah).
Lima pilar tersebut
secara berurutan kami sajikan dalam dirosat Tarbawi kali ini. Selamat
menyimak! Semoga dapat meningkatkan semagat dan amal dakwah kita. Amin.
Pilar Pertama: Akar Iman yang Menghunjam
Iman adalah sumber kekuatan. Ia merupakan penjaga sekaligus pemelihara seseorang dari sikap meremehkan dosa yang berbuntut kelemahan. Orang yang lalai dan suka dengan maksiat sebenarnya ia tidak punya kekuatan. Krisis iman merupakan akar dari segala krisis.
Karena jiwa yang kosong dan senyap dari keimanan tidak akan bisa
menuntun pemiliknya ke jalan yang benar. Begitu juga lemahnya interaksi,
keterlibatan, dan tanggungjawab seorang Muslim terhadap berbagai kewajiban
Islam dan dakwah hanyalah cermin dari krisis iman yang bersemayam di dalam
hati.
Itulah inti taujih
Rasulullah, tatkala seorang sahabat bertanya kepadanya,
”Kenapa anda melakukan puasa terus menerus?” Rasul menjawab, ”Siapakah
diantara kalian yang seperti aku. Aku bermalam dan Tuhanku memberiku makan dan
minum.”
(HR. Bukhari )
Jumhur ulama menganggap
maksud dari sabda Rasulullah, ”Allah memberiku makan dan minum adalah majaaz
(kiasan) yang menggambarkan akibat makan dan minum, yakni timbulnya
kekuatan. Seolah Rasul bersabda,”Allah memberiku kekuatan orang yang makan dan
minum, dan memberiku sesuatu yang menggantikan makan dan minum, memberiku
kekuatan untuk mengerjakan berbagai macam ketaatan tanpa berkurangnya kekuatan,
tanpa rasa lemah, jemu dan sebagainya.” (Fathul Barii 4/207/208)
Seorang Mukmin yang
imannya hidup, akan merasakan bahwa kerinduannya akan konsumsi bathin jauh
lebih besar ketimbang konsumsi makanan. Karena itu, seharusnya seorang Mukmin
memerlukan suplai kekuatan ruhiyah lebih besar dari suplai jasadiyah.
Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Setiap kita dituntut
untuk memelihara dan meningkatkan iman dengan melakukan pendekatan diri kepada
Allah SWT. Hanya diri kita sendiri yang beperan agar dapat memelihara
stabilitas dan kualitas iman. Caranya adalah dengan disiplin melakukan
tilawatul Qur’an, tafakkur, rutin membaca doa pagi dan petang, serta ibadah
sunnah. Kontinuinitas amal harian, meski sedikit, akan membuat stamina iman
kita tetap kuat menghadapi berbagai gangguan.
Hikmah pendalaman makna
dan kualitas iman bagi perjuangan dakwah juga dapat dipetik melalui tarbiyah
Allah kepada genarasi pertama. Selama masa-masa sulit di awal fajar dakwah,
taujih Robbani tidak bergeser dari fokus penanaman aqidah yang orientasinya
tidak lain adalah pemantapan iman.
Setelah melewati fase
tarbiyah itulah, lahirlah para rijal dakwah yang ketangguhan jiwanya melebihi
kemampuan serta ketahanan fisiknya. Keberanian yang muncul dari semangat iman
menjemput syahadah. Faktor inilah yang menjadikan mereka layak mendapatkan
pertolongan Allah, melalui kemenangan yang hampit tak pernah putus.
Seorang Mukmin tidak
akan dapat menemukan kekuatan lain, melebihi iman yang menghunjam di dalam
hati.
”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya menjulang ke
langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.”
(QS. Ibrahim : 24-25)
(Hal 07) Pilar Kedua: Ketajaman Visi Perjuangan
Membangun kekuatan
dakwah mutlah memerlukan prajurit yang memiliki visi perjuangan yang jelas.
Sebab pemahaman dan persepsi seseorang sangat berpengaruh pada sikapnya.
Pemahaman terhadap visi
perjuangan, adalah fondasi sebuah bangunan dakwah. Dua lainnya adalah kekuatan
niat dan amal. Fikrah tersebut akan memberi aliran semangat yang tak pernah
lemah bagi para juru dakwah.
Baca Juga: Profesional
Tanpa memiliki fikrah
yang jelas, dakwah akan kehilangan bashirah, miskin ketajaman langkah,
mudah terjebak dengan kondisi yang menipu, serta rawan fitnah.
Perjalanan dakwah yang panjang, berikut karakteristik fase yang dilaluinya, harus disadari oleh setiap dai. Tidak sedikit, orang yang gugur di jalan dakwah, karena tidak paham dengan langkah-langkah dan strategi umum dakwah. Ada ketidaksabaran dan ketergesaan memetik buah sebelum masak.
Ada juga sebaliknya, justru terseok-seok tak mampu
mengikuti dinamika dakwah. Tak ada kreativitas, inovasi, apalagi kerja keras.
Mereka ada kalanya terlampau jumud, selalu menunggu diperintah, bagaikan
gong, yang tak akan bunyi kalau tidak dipukul.
Selain memahami khittah dakwah, para da’i juga harus memahami dengan jelas rintangan dan halangan apa saja yang akan dihadapi dalam dakwah. Perjuangan dakwah mempunyai khasanah pengalaman berharga.
Selain panjang, dakwah bukan jalanan bertabur bunga dan
intan berlian. Tapi hutan belantara yang penuh dengan duri dan binatang buas.
Seorang da’i juga harus memahami rambu-rambu atau manhaj dakwah.
Bila pemahaman tentang
fikrah dakwah ini telah dimiliki, maka kewajiban lain adalah menjaga agar
pemahaman yang baik (wudhuhul fikrah) itu tetap stabil. Artinya, dalam menyikapi
berbagai persoalan, seorang da’i tidak lagi terjerumus pada pendapat individu
yang berseberangan dengan grand design yang telah ditetapkan dakwah.
Namun demikian,
kelurusan visi dakwah juga harus terus diasah melalui interaksi yang lebih
intens dengan komunitas dakwah. Informasi seputar langkah dan kebijakan dakwah
harusnya diterima melalui alur dan sumber yang jelas. Dalam jamaah dakwah, ada
saluran informasi yang berwenang. Inilah salah satu pelajaran dari firman Allah
SWT,
”Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya dapat mengetahui dari mereka.”
(QS. An Nisa’: 83)
Sikap ini penting dijaga
agar bangunan dakwah tidak hancur berantakan. Seorang penyair berkata,
”Jika ada seribu pembangun, satu orang penghancur saja sudah cukup.
Bagaimana dengan satu orang pembangun, bila di belakangnya ada seribu orang
penghancur?”
Baca Juga: Karena Syaitan itu Musuh …
(Hal 8) Pilar Ketiga: Spesialisasi dan Pembagian Tugas
Jamaah dakwah memerlukan
dukungan para ahli dalam berbagai bidang. Dan karenanya, spesialisasi keahlian
menjadi keharusan.
Banyak ayat Al Qur’an
yang mengarahkan hal ini. Antara lain dalam surat Ar Rahman ayat 33. Allah
menegaskan, untuk menembus petala langit dibutuhkan keahlian. Demikian juga
dengan kisah Dzulqarnain dalam surat Al Kahfi ayat 83-98. Dengan keahliannya
Dzulqarnain membuat benteng besi untuk menghadapi Ya’juj dan Ma’juj. Keahlian
Dzulqarnain sangat spektakuler, lantaran tak pernah dikenal ketika itu.
Dalam sirah, Rasulullah
memberi keleluasaan kepada para sahabat untuk menekuni keahliannya. Beliau
tidak pernah melikuidasi keahlian positif kaum Quraisy sebelum Islam, setelah
mereka masuk Islam. Bahkan secara tegas beliau bersabda,
”Yang paling baik diantara kamu di masa jahiliyah adalah yang paling baik
diantara kamu sesudah Islam, jika mereka faqih.”
Terbukti, berbagai
keahlian mereka dikemudian hari sangat membantu kelancaran dakwah Rasulullah. Abu
Bakar, Utsman, Abdurrahman bin Auf adalah saudagar terkenal. Ulama-ulama fiqh
pun demikian. Imam Abu Hanifah, selain seorang ahli fiqih, ia juga pedagang
ulung. Imam Ahmad selain ahli hadits, juga seorang wiraswasta yang ulet.
Saat ini banyak terjadi kesenjangan antara disiplin ilmu seseorang dengan profesi yang digeluti. Untuk itu, spesialisasi keahlian harus segera dirintis. Spesialisasi tidak berarti harus dilakukan secara akademisi.
Tetapi juga di bidang keterampilan. Agar
kesenjangan tersebut bisa diminimalisir. Dua langkah yang harus dilakukan
adalah menentukan pilihan keahlian yang cocok agar usia tidak terbuang secara
sia-sia. Kedua, meningkatkan keahlian tersebut dalam fase selanjutnya, fase
multi keahlian (Skill mik).
Namun, keahlian
profesional harus sinergi dengan dakwah. Jangan sampai ketekunan seseorang
dalam mendalami profesinya, melikuidir kontribusi dan kewajibannya terhadap
dakwah.
Begitulah para
salafusshaleh mencontohkan. Imam Ibnul Mubarak, membagi antara tugasnya di
medan perang dan beribadah. Satu tahun ia naik haji, dan tahun berikutnya ia
berjihad di medan perang. Imam Hasan Al Banna, adalah pendidik dan guru yang
tak pernah absen dari tugasnya. Tapi tugas-tugas dakwahnya tak ada yang
tercecer.
Spesialisasi profesi
juga bertalian dengan pembagian tugas dakwah. Setia urusan harus diserahkan
kepada orang yang memang menguasai. Terlebih ketika dakwah telah memasuki
berbagai bidang.
Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?
Spesialisasi juga
bermanfaat agar dakwah bisa diterima berbagai kalangan. Seperti diriwayatkan
dari Aisyah Ra, Rasulullah memerintahkan ummatnya untuk berdakwah sesuai dengan
kadar akal yang didakwahi,
”Sukakah kamu bila Allah didustakan?”
Demikian alasan
Rasulullah.
Berbicara sesuai dengan
kadar akal, tidak mesti diartikan berbicara kepada orang-orang bodoh. Justru
artinya, setiap profesi dan spesialisasi tertentu, memerlukan da’i yang punya
keahlian yang sama. Tentu dengan tetap menguasai pengetahuan dasar keislaman
mutlak diperlukan.
(Hal 09) Pilar Keempat: Tsiqah Timbal Balik
Dakwah mesti dipikul
bersama-sama. Kebersamaan itu harus diwujudkan dengan bekerjasama (amal
jama’i) yang rapi. Dari sini kemudian, kebutuhan dakwah akan jamaah yang
solid sangat penting. Tidak saja demi kepentingan tugas dakwah, tapi juga untuk
melindungi para da’i dan dakwah itu sendiri dari berbagai ganguan-gangguan.
Tekanan dan serangan
dari luar jamaah dakwah, betapa pun dahsyatnya tak akan menimbulkan
permasalahan berarti, manakala kondisi internal bangunan jamaah dakwah telah
kokoh. Sebaliknya, bangunan itu bisa saja runtuh, hanya karena rongrongan
fitnah dari dalam. Ancaman dari dalam ini lebih berbahaya. Bila tidak dibenahi,
ia bisa menjadi bom waktu yang dapat meledakkan bangunan dakwah.
Secara institusi, dakwah
harus dibangun dengan kokoh, sebagaimana difirmankan Allah,
”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh.”
(QS. As Shaf: 4)
Dalam struktur jamaah dakwah tentu ada pemimpin (Qo’id) dan ada yang dipimpin (jundi). Keduanya harus memiliki tsiqah yang sehat secara timbal balik. Bagi para anggotanya tsiqah adalah ketenangan hati kepada pemimpin (Tsiqah bil qiyadah). Sikap ini tidak akan lahir dari doktrin semata.
Loyalitas anggota pada pemimpin,
terbentuk dari sentuhan interaksi seorang anggota secara langsung kepada
pemimpinnya, hingga tumbuh keyakinan akan kebersihan niat, kualitas moral,
kapasitas pemikiran dan keluasan wawasan pemimpin.
Sebaliknya seorang
pemimpin juga harus memiliki rasa tsiqah kepada para anggotanya. Para pemimpin
harus percaya terhadap keikhlasan, kapasitas, kualitas dan komitmen anggotanya.
Baca Juga: HanyaKarena Kehendak Allah ....
Tsiqah secara timbal
balik seperti ini (Tsiqah mutabadilah) yang akan memelihara kekuatan
struktur dakwah karena dikendalikan oleh al qaid al-mautsuq bihi wa jundi
al-muthi (pemimpin yang dipercaya dan anggota yang taat).
Mengamalkan rasa tsiqah,
membutuhkan kesabaran yang besar. Utamanya bila tidak ada kecocokan seorang
anggota jamaah dengan kebijakan pemimpinnya, atau kebijakan dakwah secara umum.
Melontarkan gagasan, ide
atau usulan merupakan sikap positif, sepanjang dilakukan secara proporsional
dan benar. Namun, tak mesti hanya merasa pendapatnya yang paling benar. Atau,
boleh jadi benar, tapi jamaah belum bisa menerimanya karena berbagai hal yang
menghalangi penerapannya. Seperti kemampuan jamaah yang terbatas, atau karena
sedang memfokuskan perhatian pada masalah lain yang leih penting.
Struktur jamaah dakwah
yang solid bukan berarti menolak sikap kritis. Sikap kritis dalam jamaah dakwah
adalah sikap kritis untuk hal-hal yang tidak ada wahyunya atau yang telah
menjadi hasil syuro. Seperti pertanyaan Khabbab bin al-Mundzir di perang Badr,
”Apakah dalam memilih tempat ini, engkau menerima wahyu dari Allah sehingga
tidak dapat diubah lagi, ataukah berdasarkan strategi peperangan?”
Seperti juga penolakan
Nabi saat diminta tetap di Madinah menjelang perang Uhud, karena hasil syuro
menetapkan untuk menyongsong musuh di luar Madinah.
(Hal 10) Pilar Kelima: Membina Kemesraan Ukhuwah
Kemesraan ukhuwah
dibangun atas tiga hal: saling
kenal (ta’aruf), saling memahami (Tafahum), dan saling berbagi
beban (Takaful). Ketiganya merupakan pilar ukhuwah yang tak boleh luput
dalam roda perjalanan dakwah.
Ta’aruf bermula dari pengenalan secara fisik,
karakter, kadar keseriusan taqarrub kepada Allah, atau hal-hal lahiriyah
lainnya. Rasulullah bersabda,
”seorang Mukmin itu makhluk yang cepat akrab, maka tidak ada kebaikan pada
orang yang tidak cepat akrab dan tak bisa diakrabi.”
(HR. Ahmad dan Thabrani)
Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan
keretakan hubungan sesama Muslim. Ia juga dapat membuat hati jadi lembut serta
mampu melenyapkan bibit perpecahan. Bila wilaya ta’aruf sudah terbentang, akan
tumbuh sifat tafahum. Sifat tafahum akan menjaga kesegaran jamaah dakwah.
Sebab, dakwah diemban oleh orang-orang yang punya keterpautan hati, saling
toleransi, dan saling kompromi untuk hal-hal yang mubah.
Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Urgensi tafahum akan
kian terasa ketika pendukung jamaah dakwah terdiri dari berbagai macam orang,
baik suku, budaya maupun bahasanya. Semua karakter kesukuan harus lebur dalam
tradisi tafahum dalam ukhuwah. Meski, kedekatan kultur juga bermanfaat bagi
kesuksesan dakwah. Imam Malik berkata,
”Lihatlah orang dengan kebenaran dan jangan sebalinya, engkau lihat
kebenaran dengan orangnya.”
Puncak tafahum adalah
pada tahap ”bicara” pada satu bahasa (at-tahaduts bi lughotin wahidah). Dimana
karakter khas mewarnai seluruh aktivis jamaah, mereka berpikir dengan pola yang
satu, dan berbicara dengan bahasa yang satu.
Siapa yang tak siap
dengan konsep tafahum ini akan gagal memasuki tahapan ukhuwah berikutnya, yaitu
takaful. Inilah inti sari ukhuwah, yang darinya lahir itsar (mendahulukan
sesama saudara), puncak dari segala amal ukhuwah. Takaful tidak mesti bahu
membahu dalam memberikan jaminan materi. Ia bisa dalam bentuk bahu membahu
menunaikan kerja, saling membela yang dizalimi, bahkan saling mengirim doa.
Sejarah dakwah kaya dengan kisah-kisah besar ukhuwah. Betapa kekokohan ukhuwah tak sedikitpun bisa digoyang oleh kekuatan luar apa pun. Penjara Abu Zabal di Mesir, misalnya, menjadi saksi bagaimana para aktivis dakwah ditahan karena mereka menerapkan takaful kepada para anggota lain yang dipenjara.
Saat itu keluar keputusan pemerintahan Naseer,
bahwa barangsiapa yang memberi bantuan sebesar lima qirsy, akan divonis
penjara 5 tahun. Sementara yang memberi bantuan sebesar 10 qirsy, divonis
penjara 10 tahun.
Ukhuwah Islamiyah yang
benar akan panjang usia, bahkan hingga hari akhirat kelak.
”Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang
yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para
Nabi atau syuhada’. Para nabi dan syuhada’ iri kepada mereka.” ketika ditanya
para sahabat, Rasulullah menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung
karena Allah.”
(Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmizi)
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar