Kamis, 01 Mei 2025

Luruskan Niat Rapatkan Barisan


Luruskan Niat Rapatkan Barisan
Luruskan Niat Rapatkan Barisan 


(Hal-05) Mungkin, kita pernah sangat berharap kepada Allah untuk memperoleh sesuatu, tapi pinta itu tak kunjung dikabulkan. Sebaliknya, mungkin kita sering dikaruniai Allah berbagai nikmat, tanpa pernah sedetakpun terbersit di hati kita. Hidup memang penuh misteri. Karenanya, seringkali manusia salah dalam menilai sebuah peristiwa. Apa yang manis dan indah tak jarang justru mendatangkan malapetaka. Namun, sebuah peristiwa pahit dan berat, tak sedikit yang menjadi pintu bahagia.

Sebab itulah, Allah melarang kita melihat segala sesuatu dari bungkus luarnya saja.

”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS. Al Baqarah: 216)

Perjalanan dakwah, tak jauh berbeda. Siapa sangka, penderitaan dan tekanan luar biasa yang dialami para sahabat di Makkah, justru melahirkan generasi terbaik sepanjang masa. Pembunuhan Sumayyah oleh Abu Jahal dan keluarganya, adalah tiket surga yang pertama.

Karenanya, sudut pandang seorang Muslim terhadap suatu masalah, harus dikembalikan secara proporsional sesuai tuntutan Al Qur’an dan Sunnah. Sebuah kekalahan, kesulitan, kegagalan pada dasarnya adalah momentum yang akan mengembalikan kita pada jalan yang lebih diridhai Allah. Lebih dari itu, ujian atau musibah, akan lebih membuka berbagai kekurangan yang dimiliki. Dan dari sanalah kekalahan berubah menjadi momentum meraih kemenangan.

Setidaknya, ada dua langkah yang penting dilakukan. Luruskan niat dan rapatkan barisan. Luruskan niat memiliki dimensi peningkatan iman (iman amiq) dan kejelasan serta penyatuan visi (wudhuhul fikrah). 

Baca Juga: SalingMengingatkan tentang Niat

Sementara rapatkan barisan, adalah upaya membangun kekuatan institusi dakwah melalui tiga hal, spesialisasi dan pembagian kerja (Attakhasshush wa tauzi’ul a’mal), membangun kekuatan jamaah dakwah dengan rasa tsiqah timbal balik (Attandzimu ad daqiq al mabni ’ala tsiqah), dan mengembangkan ukhuwah yang kokoh (al ukhuwah al matinah).

Lima pilar tersebut secara berurutan kami sajikan dalam dirosat Tarbawi kali ini. Selamat menyimak! Semoga dapat meningkatkan semagat dan amal dakwah kita. Amin.

Pilar Pertama: Akar Iman yang Menghunjam

Iman adalah sumber kekuatan. Ia merupakan penjaga sekaligus pemelihara seseorang dari sikap meremehkan dosa yang berbuntut kelemahan. Orang yang lalai dan suka dengan maksiat sebenarnya ia tidak punya kekuatan. Krisis iman merupakan akar dari segala krisis. 

Karena jiwa yang kosong dan senyap dari keimanan tidak akan bisa menuntun pemiliknya ke jalan yang benar. Begitu juga lemahnya interaksi, keterlibatan, dan tanggungjawab seorang Muslim terhadap berbagai kewajiban Islam dan dakwah hanyalah cermin dari krisis iman yang bersemayam di dalam hati.

Itulah inti taujih Rasulullah, tatkala seorang sahabat bertanya kepadanya,

”Kenapa anda melakukan puasa terus menerus?” Rasul menjawab, ”Siapakah diantara kalian yang seperti aku. Aku bermalam dan Tuhanku memberiku makan dan minum.”

(HR. Bukhari )

Jumhur ulama menganggap maksud dari sabda Rasulullah, ”Allah memberiku makan dan minum adalah majaaz (kiasan) yang menggambarkan akibat makan dan minum, yakni timbulnya kekuatan. Seolah Rasul bersabda,”Allah memberiku kekuatan orang yang makan dan minum, dan memberiku sesuatu yang menggantikan makan dan minum, memberiku kekuatan untuk mengerjakan berbagai macam ketaatan tanpa berkurangnya kekuatan, tanpa rasa lemah, jemu dan sebagainya.” (Fathul Barii 4/207/208)

Seorang Mukmin yang imannya hidup, akan merasakan bahwa kerinduannya akan konsumsi bathin jauh lebih besar ketimbang konsumsi makanan. Karena itu, seharusnya seorang Mukmin memerlukan suplai kekuatan ruhiyah lebih besar dari suplai jasadiyah.

Baca Juga: Memahami‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Setiap kita dituntut untuk memelihara dan meningkatkan iman dengan melakukan pendekatan diri kepada Allah SWT. Hanya diri kita sendiri yang beperan agar dapat memelihara stabilitas dan kualitas iman. Caranya adalah dengan disiplin melakukan tilawatul Qur’an, tafakkur, rutin membaca doa pagi dan petang, serta ibadah sunnah. Kontinuinitas amal harian, meski sedikit, akan membuat stamina iman kita tetap kuat menghadapi berbagai gangguan.

Hikmah pendalaman makna dan kualitas iman bagi perjuangan dakwah juga dapat dipetik melalui tarbiyah Allah kepada genarasi pertama. Selama masa-masa sulit di awal fajar dakwah, taujih Robbani tidak bergeser dari fokus penanaman aqidah yang orientasinya tidak lain adalah pemantapan iman.

Setelah melewati fase tarbiyah itulah, lahirlah para rijal dakwah yang ketangguhan jiwanya melebihi kemampuan serta ketahanan fisiknya. Keberanian yang muncul dari semangat iman menjemput syahadah. Faktor inilah yang menjadikan mereka layak mendapatkan pertolongan Allah, melalui kemenangan yang hampit tak pernah putus.

Seorang Mukmin tidak akan dapat menemukan kekuatan lain, melebihi iman yang menghunjam di dalam hati.

”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.”

(QS. Ibrahim : 24-25)

(Hal 07) Pilar Kedua: Ketajaman Visi Perjuangan

Membangun kekuatan dakwah mutlah memerlukan prajurit yang memiliki visi perjuangan yang jelas. Sebab pemahaman dan persepsi seseorang sangat berpengaruh pada sikapnya.

Pemahaman terhadap visi perjuangan, adalah fondasi sebuah bangunan dakwah. Dua lainnya adalah kekuatan niat dan amal. Fikrah tersebut akan memberi aliran semangat yang tak pernah lemah bagi para juru dakwah.

Baca Juga:  Profesional

Tanpa memiliki fikrah yang jelas, dakwah akan kehilangan bashirah, miskin ketajaman langkah, mudah terjebak dengan kondisi yang menipu, serta rawan fitnah.

Perjalanan dakwah yang panjang, berikut karakteristik fase yang dilaluinya, harus disadari oleh setiap dai. Tidak sedikit, orang yang gugur di jalan dakwah, karena tidak paham dengan langkah-langkah dan strategi umum dakwah. Ada ketidaksabaran dan ketergesaan memetik buah sebelum masak.

 Ada juga sebaliknya, justru terseok-seok tak mampu mengikuti dinamika dakwah. Tak ada kreativitas, inovasi, apalagi kerja keras. Mereka ada kalanya terlampau jumud, selalu menunggu diperintah, bagaikan gong, yang tak akan bunyi kalau tidak dipukul.

Selain memahami khittah dakwah, para da’i juga harus memahami dengan jelas rintangan dan halangan apa saja yang akan dihadapi dalam dakwah. Perjuangan dakwah mempunyai khasanah pengalaman berharga. 

Selain panjang, dakwah bukan jalanan bertabur bunga dan intan berlian. Tapi hutan belantara yang penuh dengan duri dan binatang buas. Seorang da’i juga harus memahami rambu-rambu atau manhaj dakwah.

Bila pemahaman tentang fikrah dakwah ini telah dimiliki, maka kewajiban lain adalah menjaga agar pemahaman yang baik (wudhuhul fikrah)  itu tetap stabil. Artinya, dalam menyikapi berbagai persoalan, seorang da’i tidak lagi terjerumus pada pendapat individu yang berseberangan dengan grand design yang telah ditetapkan dakwah.

Namun demikian, kelurusan visi dakwah juga harus terus diasah melalui interaksi yang lebih intens dengan komunitas dakwah. Informasi seputar langkah dan kebijakan dakwah harusnya diterima melalui alur dan sumber yang jelas. Dalam jamaah dakwah, ada saluran informasi yang berwenang. Inilah salah satu pelajaran dari firman Allah SWT,

”Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dapat mengetahui dari mereka.”

(QS. An Nisa’: 83)

Sikap ini penting dijaga agar bangunan dakwah tidak hancur berantakan. Seorang penyair berkata,

”Jika ada seribu pembangun, satu orang penghancur saja sudah cukup. Bagaimana dengan satu orang pembangun, bila di belakangnya ada seribu orang penghancur?”

Baca Juga: Karena Syaitan itu Musuh …

(Hal 8) Pilar Ketiga: Spesialisasi dan Pembagian Tugas

Jamaah dakwah memerlukan dukungan para ahli dalam berbagai bidang. Dan karenanya, spesialisasi keahlian menjadi keharusan.

Banyak ayat Al Qur’an yang mengarahkan hal ini. Antara lain dalam surat Ar Rahman ayat 33. Allah menegaskan, untuk menembus petala langit dibutuhkan keahlian. Demikian juga dengan kisah Dzulqarnain dalam surat Al Kahfi ayat 83-98. Dengan keahliannya Dzulqarnain membuat benteng besi untuk menghadapi Ya’juj dan Ma’juj. Keahlian Dzulqarnain sangat spektakuler, lantaran tak pernah dikenal ketika itu.

Dalam sirah, Rasulullah memberi keleluasaan kepada para sahabat untuk menekuni keahliannya. Beliau tidak pernah melikuidasi keahlian positif kaum Quraisy sebelum Islam, setelah mereka masuk Islam. Bahkan secara tegas beliau bersabda,

”Yang paling baik diantara kamu di masa jahiliyah adalah yang paling baik diantara kamu sesudah Islam, jika mereka faqih.”

Terbukti, berbagai keahlian mereka dikemudian hari sangat membantu kelancaran dakwah Rasulullah. Abu Bakar, Utsman, Abdurrahman bin Auf adalah saudagar terkenal. Ulama-ulama fiqh pun demikian. Imam Abu Hanifah, selain seorang ahli fiqih, ia juga pedagang ulung. Imam Ahmad selain ahli hadits, juga seorang wiraswasta yang ulet.

Saat ini banyak terjadi kesenjangan antara disiplin ilmu seseorang dengan profesi yang digeluti. Untuk itu, spesialisasi keahlian harus segera dirintis. Spesialisasi tidak berarti harus dilakukan secara akademisi. 

Tetapi juga di bidang keterampilan. Agar kesenjangan tersebut bisa diminimalisir. Dua langkah yang harus dilakukan adalah menentukan pilihan keahlian yang cocok agar usia tidak terbuang secara sia-sia. Kedua, meningkatkan keahlian tersebut dalam fase selanjutnya, fase multi keahlian (Skill mik).

Namun, keahlian profesional harus sinergi dengan dakwah. Jangan sampai ketekunan seseorang dalam mendalami profesinya, melikuidir kontribusi dan kewajibannya terhadap dakwah.

Begitulah para salafusshaleh mencontohkan. Imam Ibnul Mubarak, membagi antara tugasnya di medan perang dan beribadah. Satu tahun ia naik haji, dan tahun berikutnya ia berjihad di medan perang. Imam Hasan Al Banna, adalah pendidik dan guru yang tak pernah absen dari tugasnya. Tapi tugas-tugas dakwahnya tak ada yang tercecer.

Spesialisasi profesi juga bertalian dengan pembagian tugas dakwah. Setia urusan harus diserahkan kepada orang yang memang menguasai. Terlebih ketika dakwah telah memasuki berbagai bidang.

Baca Juga: Bisakahkita Buktikan Keimanan Kita?

Spesialisasi juga bermanfaat agar dakwah bisa diterima berbagai kalangan. Seperti diriwayatkan dari Aisyah Ra, Rasulullah memerintahkan ummatnya untuk berdakwah sesuai dengan kadar akal yang didakwahi,

”Sukakah kamu bila Allah didustakan?” 

Demikian alasan Rasulullah.

Berbicara sesuai dengan kadar akal, tidak mesti diartikan berbicara kepada orang-orang bodoh. Justru artinya, setiap profesi dan spesialisasi tertentu, memerlukan da’i yang punya keahlian yang sama. Tentu dengan tetap menguasai pengetahuan dasar keislaman mutlak diperlukan.

(Hal 09) Pilar Keempat: Tsiqah Timbal Balik

Dakwah mesti dipikul bersama-sama. Kebersamaan itu harus diwujudkan dengan bekerjasama (amal jama’i) yang rapi. Dari sini kemudian, kebutuhan dakwah akan jamaah yang solid sangat penting. Tidak saja demi kepentingan tugas dakwah, tapi juga untuk melindungi para da’i dan dakwah itu sendiri dari berbagai ganguan-gangguan.

Tekanan dan serangan dari luar jamaah dakwah, betapa pun dahsyatnya tak akan menimbulkan permasalahan berarti, manakala kondisi internal bangunan jamaah dakwah telah kokoh. Sebaliknya, bangunan itu bisa saja runtuh, hanya karena rongrongan fitnah dari dalam. Ancaman dari dalam ini lebih berbahaya. Bila tidak dibenahi, ia bisa menjadi bom waktu yang dapat meledakkan bangunan dakwah.

Secara institusi, dakwah harus dibangun dengan kokoh, sebagaimana difirmankan Allah,

”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

(QS. As Shaf: 4)

Dalam struktur jamaah dakwah tentu ada pemimpin (Qo’id) dan ada yang dipimpin (jundi). Keduanya harus memiliki tsiqah yang sehat secara timbal balik. Bagi para anggotanya tsiqah adalah ketenangan hati kepada pemimpin (Tsiqah bil qiyadah). Sikap ini tidak akan lahir dari doktrin semata.

 Loyalitas anggota pada pemimpin, terbentuk dari sentuhan interaksi seorang anggota secara langsung kepada pemimpinnya, hingga tumbuh keyakinan akan kebersihan niat, kualitas moral, kapasitas pemikiran dan keluasan wawasan pemimpin.

Sebaliknya seorang pemimpin juga harus memiliki rasa tsiqah kepada para anggotanya. Para pemimpin harus percaya terhadap keikhlasan, kapasitas, kualitas dan komitmen anggotanya.

Baca Juga: HanyaKarena Kehendak Allah ....

Tsiqah secara timbal balik seperti ini (Tsiqah mutabadilah) yang akan memelihara kekuatan struktur dakwah karena dikendalikan oleh al qaid al-mautsuq bihi wa jundi al-muthi (pemimpin yang dipercaya dan anggota yang taat).

Mengamalkan rasa tsiqah, membutuhkan kesabaran yang besar. Utamanya bila tidak ada kecocokan seorang anggota jamaah dengan kebijakan pemimpinnya, atau kebijakan dakwah secara umum.

Melontarkan gagasan, ide atau usulan merupakan sikap positif, sepanjang dilakukan secara proporsional dan benar. Namun, tak mesti hanya merasa pendapatnya yang paling benar. Atau, boleh jadi benar, tapi jamaah belum bisa menerimanya karena berbagai hal yang menghalangi penerapannya. Seperti kemampuan jamaah yang terbatas, atau karena sedang memfokuskan perhatian pada masalah lain yang leih penting.

Struktur jamaah dakwah yang solid bukan berarti menolak sikap kritis. Sikap kritis dalam jamaah dakwah adalah sikap kritis untuk hal-hal yang tidak ada wahyunya atau yang telah menjadi hasil syuro. Seperti pertanyaan Khabbab bin al-Mundzir di perang Badr,

”Apakah dalam memilih tempat ini, engkau menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah berdasarkan strategi peperangan?”

Seperti juga penolakan Nabi saat diminta tetap di Madinah menjelang perang Uhud, karena hasil syuro menetapkan untuk menyongsong musuh di luar Madinah.

(Hal 10) Pilar Kelima: Membina Kemesraan Ukhuwah

Kemesraan ukhuwah dibangun atas tiga hal:  saling kenal (ta’aruf), saling memahami (Tafahum), dan saling berbagi beban (Takaful). Ketiganya merupakan pilar ukhuwah yang tak boleh luput dalam roda perjalanan dakwah.

Ta’aruf bermula dari pengenalan secara fisik, karakter, kadar keseriusan taqarrub kepada Allah, atau hal-hal lahiriyah lainnya. Rasulullah bersabda,

”seorang Mukmin itu makhluk yang cepat akrab, maka tidak ada kebaikan pada orang yang tidak cepat akrab dan tak bisa diakrabi.”

(HR. Ahmad dan Thabrani)

Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama Muslim. Ia juga dapat membuat hati jadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan. Bila wilaya ta’aruf sudah terbentang, akan tumbuh sifat tafahum. Sifat tafahum akan menjaga kesegaran jamaah dakwah. Sebab, dakwah diemban oleh orang-orang yang punya keterpautan hati, saling toleransi, dan saling kompromi untuk hal-hal yang mubah.

Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

Urgensi tafahum akan kian terasa ketika pendukung jamaah dakwah terdiri dari berbagai macam orang, baik suku, budaya maupun bahasanya. Semua karakter kesukuan harus lebur dalam tradisi tafahum dalam ukhuwah. Meski, kedekatan kultur juga bermanfaat bagi kesuksesan dakwah. Imam Malik berkata,

”Lihatlah orang dengan kebenaran dan jangan sebalinya, engkau lihat kebenaran dengan orangnya.”

Puncak tafahum adalah pada tahap ”bicara” pada satu bahasa (at-tahaduts bi lughotin wahidah). Dimana karakter khas mewarnai seluruh aktivis jamaah, mereka berpikir dengan pola yang satu, dan berbicara dengan bahasa yang satu.

Siapa yang tak siap dengan konsep tafahum ini akan gagal memasuki tahapan ukhuwah berikutnya, yaitu takaful. Inilah inti sari ukhuwah, yang darinya lahir itsar (mendahulukan sesama saudara), puncak dari segala amal ukhuwah. Takaful tidak mesti bahu membahu dalam memberikan jaminan materi. Ia bisa dalam bentuk bahu membahu menunaikan kerja, saling membela yang dizalimi, bahkan saling mengirim doa.

Sejarah dakwah kaya dengan kisah-kisah besar ukhuwah. Betapa kekokohan ukhuwah tak sedikitpun bisa digoyang oleh kekuatan luar apa pun. Penjara Abu Zabal  di Mesir, misalnya, menjadi saksi bagaimana para aktivis dakwah ditahan karena mereka menerapkan takaful kepada para anggota lain yang dipenjara. 

Saat itu keluar keputusan pemerintahan Naseer, bahwa barangsiapa yang memberi bantuan sebesar lima qirsy, akan divonis penjara 5 tahun. Sementara yang memberi bantuan sebesar 10 qirsy, divonis penjara 10 tahun.

Ukhuwah Islamiyah yang benar akan panjang usia, bahkan hingga hari akhirat kelak.

”Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi atau syuhada’. Para nabi dan syuhada’ iri kepada mereka.” ketika ditanya para sahabat, Rasulullah menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah.”

(Hadits Shahih diriwayatkan oleh Tirmizi)


 Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar